Setelah generasi sahabat punah, dari waktu ke waktu kaum Muslimin juga masih melakukan kreasi kreasi yang diperlukan dan dibutuhkan oleh umat, sesuai dengan perkembangan zaman yang harus diikuti dengan kecekatan dalam bertindak.
Berikut 4 kreasi kaum Muslimin setelah generasi sahabat dan kemudian diakui sebagai bid’ah hasanah, yuk disimak.
-
Pemberian Titik dalam Penulisan Mushhaf
Pada masa Rasulullah, penulisan Mushhaf al-Qur’an yang dilakukan oleh para sahabat tanpa pemberian titik terhadap huruf-hurufnya seperti ba’, ta’ dan lain-lainnya. Bahkan ketika Khalifah Utsman menyalin Mushhaf menjadi 6 salinan, yang 5 salinan dikirimnya ke berbagai kota negara Islam seperti Basrah, Mekah dan lain-lain, dan satu salinan untuk beliau pribadi, dalam rangka penyatuan bacaan kaum Muslimin, yang dihukumi bid’ah hasanah wajibah oleh seluruh ulama, juga tanpa pemberian titik terhadap huruf hurufnya. Pemberian titik pada Mushhaf al-Qur’an baru dimulai oleh seorang ulama tabi’in, Yahya bin Ya’mur (wafat sebelum tahun 100 H/719 M), Al Imam Ibn Abi Dawud al-Sijistani meriwayatkan:
عن هارون بن موسى قال: أول من نقط المصاحف يحى بن يعمر (الإمام ابن أبي داود السجستاني، المصاحف، ص/١٥٨).
“Harun bin Musa berkata: “Orang yang pertama kali memberi titik pada Mushhaf adalah Yahya bin Ya’mur”. (Al Imam Ibn Abi Dawud al-Sijistani, al-Mashahif, hal. 158).
Setelah beliau memberikan titik pada Mushhaf, para ulama tidak menolaknya, meskipun Nabi belum pernah memerintahkan pemberian titik pada Mushhaf.
-
Penulisan (*) Ketika Menulis Nama Nabi
Di antara bid’ah hasanah yang disepakati oleh kaum Muslimin, bahkan oleh kaum Wahhabi sendiri, adalah penulisan (*) ketika menulis nama Nabi dalam kitab-kitab dan surah menyurat. Hal ini belum pernah dilakukan pada masa Nabi dalam surat surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan kepala suku Arab. Dalam surat-surat yang beliau kirimkan pada waktu itu hanya ditulis, “Dari Muhammad Rasulullah kepada si fulan”.
-
Perkembangan Ilmu Hadits
Di antara bid’ah hasanah yang disepakati oleh kaum Muslimin, termasuk oleh kaum Wahhabi, adalah perkembangan istilah-istilah dalam berbagai keilmuan dalam Islam, terutama dalam ilmu hadits. Pada masa Rasulullah dan masa sahabat belum pernah diperkenalkan istilah-istilah yang berkembang dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil seperti perawi si fulan tsiqah, hafizh, mutqin, shaduq, dha’if dan lain-lain. Belum pernah pula diperkenalkan istilah hadits shahih, hasan, dha’if, maudhu’, munkar, mahfuzh, mudraj, marfu’, mauquf, magthu’, ahad, gharib, masyhur, mutawatir dan lain-lain.
Meskipun istilah-istilah tersebut belum pernah diperkenalkan pada masa Rasulullah dan masa sahabat, tetapi tak satu pun ulama yang menolaknya, atau menganggapnya bid’ah dhalalah. Bahkan untuk pembukuan hadits sendiri baru dimulai oleh al Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M) atas instruksi Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pembukuan ilmu al-jarh wa al-ta’dil dimulai oleh al-Imam Yahya bin Sa’id al-Qaththan al-Tamimi (w. 198 H/813 M). Sedangkan penulisan ilmu mushthalah al-hadits, baru dimulai leh al-Hafizh Abu Muhammad al-Hasan bin Abdurrahman bin Khallad al-Ramahurmuzi (wafat sekitar 360 H/970 M) dalam kitabnya al Muhaddits al-Fashil Bayna al-Rawi wa al-Wa’i,
-
Bid’ah Hasanah al-Imam Ahmad bin Hanbal