Sejarah mencatatat bahwa dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda, Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya dan bersembunyi di hutan-hutan sebagai basis pertahanan. Dalam persembunyiannya, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya selalu meninggalkan jejak di tempat yang pernah disinggahinya ketika sembunyi dari kejaran pasukan Belanda.
Salah satunya ketika Pangeran Diponegoro berada di wilayah Blitar. Ada sebuah langgar (musala) yang diyakini masyarakat sekitar sebagai peninggalan Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya. Langgar bernama An Nur ini berada di Jalan Kemuning, Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar.
“Masyarakat biasa menyebutnya langgar panggung Diponegoro,” kata Fikal Mazid (46), penggurus Musala An Nur, kepada BLITARTIMES, Senin (5/11)
Musala ini disebut langgar panggung karena bentuk bangunannya menggantung di atas tanah. Model bangunan musala ini mirip rumah joglo dengan konstruksi bangunan berupa kayu jati. Lantai dan tiang bangunan tersebut berbahan kayu jati. Sedangkan dindingnya dari anyaman bambu
Menurut cerita, sejarah berdirinya Musala An Nur bermula dari seorang pelarian Laskar Diponegoro bernama Irodikoro. Ia adalah bupati Demak yang sekarang adalah Kudus.
Dalam pelariannya, ia tiba di sebuah hutan yang sangat lebat dan banyak ditumbuhi pohon ploso. Di tengah hutan tersebut Irodikoro bertemu dengan tiga orang yang sudah lebih dahulu menghuni kawasan tersebut, yaitu Mbah Sirodongso, Mbah Singodongso, dan Mbah Morodongso.
Ketiga orang ini lah yang pertama menebang (membabat) hutan ploso yang sangat lebat. Selanjutnya disitu didirikan sebuah desa yang diberi nama Plosokerep,
“Artinya Ploso yaitu pohon ploso dan kerep yang berarti lebat. Hal ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1824, sebelum pecahnya perang Diponegoro,” jelas Mazid.
Setahun setelah berdirinya Desa Plosokerep, Mbah Singodongso kedatangan tamu seorang laskar Diponegoro yang sedang menjadi buronan Belanda. Tidak lain ia adalah Irodikoro. Dan takdir sudah menjadi suratan Tuhan. Irodikoro kemudian diambil mantu oleh Mbah Singodongso yang kemudian beranak cucu di Plosokerep.
Langgar An Nur sendiri berdiri sekitar tahun 1826-1828. Saat itu di Jawa sedang terjadi peperangan melawan penjajah Hindia Belanda oleh Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya. Dalam peperangan itu, Diponegoro bersembunyi di Plosokerep karena wilayah tersebut masih berupa hutan ploso yang sangat lebat.
Di sana sang pangeran membangun sebuah musala yang saat ini dikenal sebagai Langgar An Nur sebagai tempat beribadah dan tempat berkumpul untuk mengatur strategi mengalahkan Belanda. Di depan musala tersebut, Pangeran Diponegoro menanam beberapa pohon sawo kecik sebagai penanda. Nama sawo sendiri diambil dari bahasa Arab yang berarti sama.
Tanda pohon sawo kecik tersebut juga berfungsi sebagai penanda jika sewaktu-waktu terjadi peperangan di sekitar tempat tersebut. Maka tanda tersebut menunjukkan pendukung laskar perjuangan Diponegoro.
