Blitar – Istilah santri tidak asing lagi di masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Hari Santri” sebagai penanda diakuinya kontribusi santri dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU kota Blitar, Dr. KH Syaikhul Munib, M.Ag menjelaskan mengenai beberapa hal yang harus dilakukan oleh santri masa kini, yang biasa disebut milenial dalam acara Podcast di Studio Aswaja Center, Jl Cisadane No.2 Bendo Kota Blitar Jatim. Selasa, 13/10/2020.
Santri adalah sebutan istilah bagi seseorang yang belajar ilmu agama di lembaga pendidikan yang dikenal dengan pondok pesantren aau non pesantren. Sementara millennial adalah sebutan bagi generasi Y dan Z.
“Santri merupakan sebutan bagi seseorang yang ilmu agama, baik dia ada di pesantren atau tidak dipesantren. Istilah santri ini tidak melihat usia, tidak pula melihat profesi. Eksistensi santri saat ini hidup di era milenial yang serba cepat, praktis, dan terkoneksi dengan dunia internet, tinggal bagaimana santri ikut dalam berkonstribusi,” ucapnya.
“Generasi Y lahir diantara era 1980 an sampai tahun 2000, dan generasi Z lahir diawal tahun 2000 hingga saat ini. Inilah yang disebut generasi milenial,” katanya.
Menurut Kyai Munib, ciri anak milenial itu ada beberapa, diantaranya gampang bosan, punya prinsip, suka pembayaran non cast (e-money, e-tool, transfer rekening), suka serba cepat dan instan, lebih memilih pengalaman, memiliki kemampuan berbeda perilaku, multi tasking hingga kritis terhadap sosial.
“Saat ini kemana-mana pakai HP. Mau makan yang dipengang HP, mau tidur pegang HP, baru bangun tidur pun cari HP,” ungkapnya.
Menurut Kyai Munib, di era digital saat ini, seorang santri harus tetap mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yaitu at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Juga At-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Hingga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.
