banner 728x250

OTOKRITIK BUAT NAHDLATUL ULAMA

Oleh: Mamang M Haerudin (Aa)
Fenomena penolakan pengajian dan perusakan plang NU di dua daerah yang berbeda, yang terjadi belum lama ini menunjukkan bahwa virus kebencian terhadap NU hampir di ujung tanduk. Seperti pelampiasan awal dari sekian lamanya dendam kesumat terhadap NU. Kita tahu bersama NU itu Ormas terbesar/mayoritas dan dekat dengan Pemerintah. Yang terakhir ini akan menjadi kecemburuan sekaligus senjata ampuh untuk terus menonjok NU.
Saya bermaksud menyampaikan otokritik. Agar sekarang dan ke depan NU semakin rendah hati dan merangkul.
1. Para petinggi PBNU, da’i-da’i NU agar mengurangi sikap reaktif dan “nyemprit.” Kalau Wahabi, salafi, hijrah dlsj ada yang keliru, sebagai Ormas mayoritas sebaiknya lebih arif dan merangkul. Kita harus buktikan bahwa NU bisa mengayomi kelompok manapun dan mengajak duduk bersama dengan kelompok anti NKRI sekalipun. Bersama Pemerintah, NU bisa leluasa untuk lebih tegas menyadarkan dan bahkan memberi efek jera kepada kelompok yang anti NKRI tetap dengan rendah hati namun tetap tegas.
2. Para sahabat GP Ansor-Banser juga agar lebih soft lagi dalam menghadapi narasi kebencian. Tidak perlu lagi terkesan “gagah-gagahan” dan “menang-menangan” sambil reaktif terhadap kelompok yang membenci GP-Ansor sekalipun. Pasukan GP Ansor-Banser yang kuantitasnya banyak dan kompak itu sangat penting tapi bukan hanya untuk tujuan mengcounter kelompok intoleran dan anti NKRI. Kalau hanya itu tujuannya terlalu remeh.
3. Melawan kelompok intoleran dan anti NKRI, termasuk para mualaf (yang berbalik menjelekkan agama sebelumnya) itu mesti lebih cerdik lagi, lebih kalem lagi. Jangan sampai terpancing emosi. Bagaimana pun masa depan Islam Indonesia ada di tangan NU, selain Muhammadiyah. Saya malah berharap agar Rais Am PBNU bisa lebih mendapat tempat untuk memberikan nasihat di tengah kemelut umat. Kealiman dan kebijaksanaan Rais Am mendesak diperlukan. Sebab kalau NU masih nyemprit dan terus memojokkan kelompok intoleran dan anti NKRI, NU akan dikick balik, jadi yang intoleran itu NU atau mereka? Katanya NU inklusif dan merangkul.
4. Kalau bukan karena NU mayoritas dan dekat (dalam arti mengawasi Pemerintah, bukan penjilat) dengan Pemerintah, saya meyakini mungkin gelombang penolakan dan perusakan akan sering terjadi. NU memang terbukti “tahan banting” dalam rezim apapun, tetapi berkah itu jangan dijadikan romantisme sejarah, namun justru harus menjadi pelecut agar NU semakin hati-hati dengan godaan politik praktis.
Sementara itu dulu. Sekian.
Wallaahu a’lam
banner

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *