banner 728x250

Mengupas Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan; Benarkah Dianjurkan?

Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang ulang dengan disengaja, dan bukan terjadi secara kebetulan. Dalam hal ini, Syaikh Shalih bin Ghanim al-Sadlan, Ulama Wahhabi kontemporer dari Saudi Arabia, berkata:

وفي درر الحكام شرح مجلة الأحكام العدلية قال: العادة هي الأمر الذي يتقرر في النفوس ويكون مقبولاً عند ذوي الطباع السليمة. (الشيخ صالح بن غانم السدلان، القواعد الفقهية الكبرى وما تفرع عنها ص/333).

Dalam kitab Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam al-Adliyyah berkata: “Adat (tradisi) adalah sesuatu yang menjadi keputusan pikiran banyak orang dan diterima oleh orang-orang yang memiliki karakter yang normal.” (al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa ma Tafarra’a ‘anha, hal. ‘333).

Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama. Dalam hal ini a’-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah, berkata

 وقال ابن عقيل في الفنون لا ينبغي الخروج من عادات الناس إلا

في الحرام فإن الرسول ﷺ ترك الكعبة وقال (لولا حدثان قومك الجاهلية) وقال عمر لولا أن يقال عمر زاد في القرآن لكتبت آية الرجم. وترك أحمد الركعتين قبل المغرب لإنكار الناس لها، وذكر في الفصول عن الركعتين قبل المغرب وفعل ذلك إمامنا أحمد ثم تركة بأن قال رأيت الناس لا يعرفونه، وكره أحمد قضاء الفوائت في مصلى العيد وقال: أخاف أن يقتدي به بعض من يراه . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٤٧/٢)

“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan_masa-masa Jaliliyah…” Sayyidmaa Unuar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).

Ngapati atau Ngupati adalah upacara selamatan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan mitoni atau tingkepan (melet kandung) adalah upacara selamatan ketika kandungan berusia 7 bulan. Upacara selamatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat, wal afiyat serta menjadi anak yang saleh.

Al-Qur’an al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim yang yang masih belum lahir: mendoakan anak cucunya

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. al-Beqarah : 128).

Al-Qur’an juga menganjurkan kita agar selalu berdoa:

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan: 74).

Di sisi lain, Nabi juga mendoakan janin sebagian sahabat beliau. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih berikut ini:

عن أنس بن مالك ﷺ قال: كان ابن لأبي طلحة يشتكي فخرج أبو طلحة فقبض الصبي فلما رجع أبو طلحة قال ما فعل ابني قالت أم سليم هو أسكن ما كان فقربت إليه العشاء فتعشى ثم أصاب منها فلما فرغ قالت واروا الصبي فلما أصبح أبو طلحة أتى رسول الله ﷺ فأخبره فقال أغرستم الليلة قال نعم قال اللهم بارك لهما

فولدت غلاما. (رواه البخاري ومسلم)

“Anas bin Malik berkata: “Abu Tholhah memiliki seorang anak laki-laki yang sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak kecil itu meninggal dunia. Setelah Abu Tholhah pulang, beliau bertanya kepada isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia sekarang dalam kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan makanan malam, sehingga Abu Tholhah pun makan malam. Selesai makan malam, keduanya melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh orang-orang agar mengulnur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Tholhah mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian malam harinya. Nabi bertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu Tholhah menjawab, “Ya.” Lalu Nabi berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Sulaim melahirkan anak laki-laki.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Di sisi lain, ketika seseorang di antara kita memiliki bayi dalam kandungan, tentu kita mendambakan agar buah hati kita lahir ke dunia dalam keadaan sempurna, selamat, sehat wal afiyat dan menjadi anak yang saleh sesuai dengan harapan keluarga dan agama. Para ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika mempunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al Hafizh al-Nawawi -seorang ulama ahli hadits dan fiqih madzhab al-Syafi’i-, berkata:

يستحب أن يتصدق بشيء أمام الحاجات مطلقا. (المجموع شرح المهذب ٢٦٩/٤). وقال أصحابنا : يستحب الإكثار من الصدقة عند

الأمور المهمة. (المجموع شرح المهذب ٢٣٣/٦).

“Disunnahkan bersedekah sekedarnya ketika mempunyai hajal apapun. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 269). Para ulama kami berkata, “Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan urusan yang penting.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).

Bersedekah pada masa-masa kehamilan, juga dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab al-Hanbali, yang diikuti oleh Syaikh Ibn Taimiyah dan menjadi madzhab resmi kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali menyampaikan dalam kitabnya, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, riwayat berikut ini:

“Imam al-Khallal berkata, “Kami menerima kabar dan Muhammad bin Ali bin Bahar, berkata, “Aku mendengar Husnu, Ibu yang melahirkan anak-anak al-Imam Ahmad bin Hanbal, berkata, “Aku berkata kepada tuanku (Ahmad bin Hanbal), “Tuanku, bagaimana kalau gelang kaki satu-satunya milikku ini aku sedekahkan?” Ahmad menjawab, “Kamu rela melepasnya?” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberimu pertolongan untuk melakukannya.” Husnu berkata, “Lalu gelang kaki itu aku serahkan kepada Abu al-Hasan bin Shalih dan dijualnya seharga 8 dinar setengah. Lalu uang itu ia bagi-bagikan kepada orang-orang pada saat kehamilanku. Setelah aku melahirkan Hasan, tuanku memberi hadiah uang 1 dirham kepada Karramah, wanita tua yang menjadi pelayan kami.” (al-Imam Ibn al-Jauzi, Manaqib al Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 406-407).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa upacara selamatan pada masa-masa kehamilan seperti ngapati ketika kandungan berusia 4 bulan atau tingkepan ketika kandungan berusia 7 bulan, tidak dilarang oleh agama, bahkan substansinya memang dianjurkan dan pernah dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi kaum Wahhabi di Saudi Arabia.

banner

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *