Bid’ah dan Tradisi: Antara Agama & Realita dalam Perspektif Aswaja An-Nahdliyah
Abdullah Umar / 3 tahun
0
3 min read
Blitar – Pembahasan mengenai bid’ah menjadi penting, melihat konteks masyarakat saat ini yang dengan mudah melontarkannya kepada sesama muslim. Perhatian mengenai bid’ah sudah lama menjadi pro kontra, sejak ratusan tahun lalu.
Kali ini, pembahasan mengenai bid’ah dan tradisi , dipaparkan oleh ustadz Khusnuddin, S.Sos.I, M.A secara panjang lebar dalam Kajian Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Kiswah) di Markas Dakwah Aswaja, Jl. Kalimantan No. 65 A Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur. Minggu, 4/10/2020.
Bid’ah merupakan perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan. Sebagaimana hadist Abu Dawud, berikut :
“Jauhi sesuatu yang baru. Karena semua yang baru itu bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud)
Sore hari itu, kajian Islam Ahlussunnah wal Jama’ah membahas bid’ah dan tradisi dalam perspektif Aswaja.
“Apapun yang zaman nabi itu tidak ada, tetapi setelah Nabi ada, maka bisa dikategorikan bid’ah,” ucap nya
Ada pun amaliyah-amaliyah baik yang bersandar pada semangat keislaman, tentu tidak termasuk pada bidah yang sesat menyesatkan. Misalnya, berziarah ke makam orang tua, orang-orang saleh, dan berkunjung ke kuburan sebelum masuk bulan Ramadhan. Dengan berziarah, seseorang bisa dengan mutlak mengingat kematian, yang kata Nabi Muhammad adalah sebaik-baik nasehat.
“Sebenarnya permasalahan bid’ah ini sejak dulu sudah ada, tetapi masalah ini mencuat sejak ada pengelompokan-pengelompokan dalam Islam. Sejak masa khulafaur rasyidin,” kata Ustadz yang juga dosen fakultas agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNI) Blitar ini.
Ada pula amaliyah membaca Al-Qur’an sampai khatam di sebuah rumah, sebagai rasa syukur karena akan ada pernikahan di sana. Atau sebagai upaya agar keinginan si empunya rumah dapat dikabulkan. Laku-laku serupa itu adalah bentuk ikhtiar. Membaca Al-Qur’an jelas merupakan kebaikan. Sedangkan Allahu Ta’ala menyukai kebaikan. Jadi masuk akal, kalau membaca Al-Qur’an diposisikan sebagai bentuk rasa syukur, atau pun cara penguat doa. Belum lagi, kalau disandarkan pada dalil-dalil hadist tentang keutamaan Al-Qur’an yang sekian banyak jumlahnya.
Dengan cara memilah dan memilih tradisi seperti itu, Islam bisa disebarkan dengan lebih masif. Terbukti, organisasi Islam terbesar di dunia, bisa eksis hingga kini dengan performa yang tidak kunjung menurun, karena mengadopsi perspektif tersebut. Padahal, ada banyak organisasi Islam lain yang lebih tua, tapi tidak jua mencapai titik yang sama apalagi menyaingi.
“Tradisi di NU itu banyak, misalnya shalat Jum’at itu pakai tongkat atau bedug. Artinya di NU itu banyak tradisi tapi tidak dholalah. Kalau kita gabungkan sebenarnya tradisi NU itu banyak sekali. Maka dari itu kita semuanya itu harus bisa memahami sehingga yang kita laksanakan itu ada nilai ibadahnya,” ucapnya.
“Hanya saja kadang-kadang ulama jaman dulu, saat berdakwah dasar ilmu hadisnya tidak disampaikan dengan tujuan agar luwes dan ringkas,” tuturnya.
Di situlah cermin kelenturan dalam beragama. Sehingga orang beragama dengan bahagia. Namun ingat, tetap dalam kaidah-kaidah prinsip akidah. Kalau berlebihan, dibuat-buat, dan diakal-akali, itu namanya bukan lentur melainkan ngawur. Kengawuran serupa itu biasanya dimiliki para pemikir yang orientalis dan liberalis sentris.
“Kalau sudah tahu, maka kita tidak akan termakan dengan wa kullu bid’ahtin dholalah,” katanya.
Ustadz Khusnuddin menjelaskan lima macam bid’ah. Berikut 5 macam bid’ah yang berhasil dihimpun redaksi.
Pertama, bid’ah yang bersifat wajib seperti mempelajari bahasa Arab.
Kedua, bid’ah yang bersifat haram seperti mendirikan negara Tuhan dan mengatakan dirinya paling benar.
Ketiga, bid’ah yang bersifat mandub (sunnah). Bid’ah yang jika dikerjakan menjadi baik kalau tidak, tidak akan masalah, seperti membangun sekolah, pesantren, dan mempererat tali silaturahim.
Keempat, bid’ah yang bersifat makruh, seperti memperindah mushaf Al-Qur’an, menghiasi masjid dan lain sebagainya.
Kelima, bid’ah yang bersifat mubah seperti berjabat tangan setelah shalat.