Blitar – Ketupat menjadi hidangan wajib ada bagi masyarakat Muslim Indonesia setiap Hari Raya Idul Fitri, terutama di Kota Blitar. Padahal, jika diamati hidangan ketupat sebenarnya tak ada di negara-negara Timur Tengah. Lantas, bagaimana sebenarnya tradisi makan ketupat ini bisa sampai di kota Blitar?
“Menurut cerita rakyat, ketupat itu berasal dari masa hidup Sunan Kalijaga, tepatnya di masa syiar Islamnya pada abad ke-15 hingga 16. Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai budaya sekaligus filosofi Jawa yang berbaur dengan nilai ke-Islaman,” kata Fikal Mazid (13/5/2019).
Masyarakat Jawa dan Sunda menyebut ketupat sebagai kupat yang berarti ngaku lepat atau mengakui kesalahan. Kota Blitar sebagai salah satu kota yang mayoritas penduduknya muslim, selalu menggelar tradisi makanan ketupat setiap Hari Raya Idul Fitri. Jika ditelusuri terdapat semua langgar (mushola, red) yang menjadi saksi awal mula tradisi ketupat di kota Blitar.
Sejarah mencatat terdapat sebuah Langgar panggung bernama An Nur berlokasi di Jalan Kemuning, Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar yang berdiri sekitar tahun 1826-1828. Langgar ini pernah menjadi persinggahan Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda.
Saat itu di Jawa sedang terjadi peperangan melawan penjajah Hindia Belanda oleh Pangeran Diponegoro beserta para pengikutnya. Dalam peperangan itu, Diponegoro bersembunyi di Plosokerep karena wilayah tersebut masih berupa hutan ploso yang sangat lebat.
Baca juga Langgar An Nur Plosokerep, Saksi Bisu Perjuangan Pangeran Diponegoro di Blitar
Setahun setelah berdirinya Desa Plosokerep sekitar tahun 1824, Mbah Singodongso kedatangan tamu seorang laskar Diponegoro yang sedang menjadi buronan Belanda. Tidak lain ia adalah Irodikoro. Dan takdir sudah menjadi suratan Tuhan. Irodikoro kemudian diambil mantu oleh Mbah Singodongso yang kemudian beranak cucu di Plosokerep. Diperkirakan sejak itu dimulai tradisi ketupat di Kota Blitar.
